Berawal dari sebuah kepedulian pada sebuah bentuk pengabdian civitas akademika seni rupa, maka para penggagas mencoba menyuguhkan sebuah bentuk kegiatan yang bertujuan sebagai penggambaran penghormatan. Tepatnya tanggal 4 – 8 Mei 2009, diadakan sebuah bentuk kegiatan bertajuk ”Gawe Besar Kriya” yang dipersembahkan sebagai simbolisasi penghormatan prof. Drs. Sp. Gustami, S.U., dan Dra. Ambar Astuti, M.A. Gawe Besar Kriya merupakan sebuah momentum besar kriya yang memvisualisasikan sebuah perspektif baru dalam dunia seni. Kegiatan tersebut berupa pameran yang melibatkan mahasiswa, dosen , kriyawan maupun alumni ISI Yogyakarta sejak berdirinya ASRI hingga dewasa ini. Selain itu juga mengadakan seminar Nasional dengan menghadirkan kriyawan dari beberapa daerah dan diikuti lebih dari 100 peserta.
Kegiatan tersebut di selenggarakan oleh para dosen ISI Yogyakarta yang diketuai oleh Dr. Drs. Timbul Raharjo,M.Hum. Walaupun dalam implementasinya melibatkan mahasiswa selaku pengurus HMJ yang ikut berperan aktif dalam kegiatan tersebut. Dalam persiapan pameran, nampak karya-karya lusuh dengan kesibukan baru di ruang-ruang Kriya. Karya tersebut diambil dari beberapa gudang yang jarang untuk dilihat bahkan dirawat. Oleh karenanya ketika beberapa karya tersebut di kondisikan untuk didisplay, terdapat beberapa karya yang nampak berdebu bahkan rusak.
Penulis selaku mahasiswa ISI Yogyakarta mencoba menggali perspektif dari kegiatan tersebut diatas dengan Antropologi sebagai landasan dasar pemikiran. Oleh karena itu perlu adanya pemahaman terkait dengan antropologi secara global. Anthropology berarti “ilmu tentang manusia”, yang telah menjadikan berbagai cara hidup manusia dengan berbagai macam sistem tindakan sebagai obyek penelitian dan analisanya. Kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Hal tersebut berarti bahwa seluruh hasil tindakan manusia adalah kebudayaan, dikarenakan hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan belajar, dalam arti hanya beberapa tindakan naluri, beberapa reflex, beberapa tindakan fisiologi, ataupun kelakuan saat membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia yang merupakan kemampuan naluri yang dimiliki manusia dalam gen-nya ketika dilahirkan.
Karya-karya yang divisualisasikan dalam pameran bertajuk ”Gawe Besar Kriya” dapat menjadi sebuah saksi perkembangan sejarah kriya dari tahun 40’an hingga kini. Salah satu yang unik adalah karya ukir kayu sejak tahun 1941 – 1970, ornamen digarap dengan sungguh-sungguh dan mengedepankan motif tradisional. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa peralatan ukir pada tahun-tehun tersebut tidak lengkap seperti saat ini. Namun karya yang dihasilkan memiliki craftsmanship yang tinggi dan kualitas yang bagus. Jika kita bandingkan dengan karya kriya dewasa ini, maka akan didapati karya-karya yang berbeda dan memiliki kualitas dan nilai craftsmanship yang bisa dikatakan tidak sebanding dengan karya-karya sebelumnya.
Menurut hemat penulis, terdapat beberapa hal menarik untuk dikaji. Seperti yang kita ketahui bahwa sebuah pemahaman tingkat penghargaan pada sebuah hasil budi daya manusia merupakan sebuah nilai dari prilaku sistem tindakan yang positif. Seseorang sarjana seni pada khususnya, menghasilkan sebuah pencapaian proses dalam berkarya seni dengan belajar terkait bidang yang di geluti sedikitnya selama 4 tahun. Oleh karena itu ketika tingkat penghargaan sebuah karya dapat menjadi tolak ukur tingkat keperdulian masyarakat dalam tingkat struktur komunitas intelektual, maka akan ditemukan hal-hal yang cukup menarik bahkan menggelitik. Karya yang idealnya ditempatkan pada tempat yang selayaknya menjadi karya abadi yang dipamerkan dalam sekat – sekat tembok gudang kampus dan tertutup.
Terkait dengan hal tersebut, setidaknya penulis dapat merunut argumentasi respon masyarakat ketika rancu bahkan tidak mengetahui sebuah nilai estetis bentuk karya kriya. Setidaknya lebih dari 70 % orang tidak mengerti apa artikulasi kriya dalam perspektif dan kedudukan seni rupa Indonesia, seperti yang diungkap oleh salah seorang pemakalah dalam senaminar nasional Kriya pada tanggal 5 Mei 2009. Dan penulis pikir hal tersebut relevan. Heddy Shri Ahimsa Putra salah seorang pemateri seminar tersebut, dimana beliau juga mengajar di Pasca sarjana di UGM bidang Antropologi seni, mengaku terkejut dengan perkembangan kriya Indonesia dewasa ini. Beliau ungkapkan hal tersebut ketika melihat langsung visualisasi karya kriya dari tahun 40’an hingga kini dalam bentuk pameran yang bertempat di gedung Kriya ISI Yogyakarta. Perspektif tentang kriya yang sedikit banyak disamakan dengan bentuk-bentuk kerajinan, pudar ketika melihat pencapaian bentuk-bentuk karya yang disajikan yang merupakan bentuk karya ekspresif seorang kriyawan.
Melalui hal tersebut dapat penulis tentukan sebuah hipotesis singkat bahwasannya karya kriya seni kurang dikenal. Walaupun jika dikaji lebih jauh maka akan kita fahami mengapa hal tersebut terjadi. Secara historis memang artikulsi kriya mengalami pertentangan yang panjang sejak berdirinya ASRI hingga ISI Yogyakarta dewasa ini. Bahkan ketika jalannya seminar nasional kriya tersebut tidak menemukan titik temu yang pasti. Seperti kesimpulan pembicara, khususnya oleh Asmudjo J Irianto mengatakan bahwa,
”Saya sudah kerap menyarankan jika sebuah ketrampilan (craftsmanship) menangani material tertentu dimanfaatkan untuk menciptakan karya seni, maka kita sebut saja karya yang dihasilkan adalah karya ”seni” – dari pada disebut sebagai karya ”kriya seni”. Sebagai contoh, toh kita sudah tidak asing dengan istilah seni keramik atau seni serat, tidak harus kita sebut ”kriya seni keramik” atau ”kriya seni serat”.
Jika kita telaah ungkapan tersebut agak bertentangan jika kita kaitkan dengan teori van ball yang secara garis besarnya terdapat klasifikasi perspektif dalam memandang sebuah masalah. Antara generalisasi dan struktur sistem setidaknya dapat penulis ungkap perpedaan perspektif tersebut ketika kita kaitkan. Menurut hemat penulis, secara generalisasi, kriya merupakan sebuah seni dan ketika kita kerucutkan lagi tergolong sebagai sebuah seni rupa. Hal tersebut dapat kita fahami secara umum dan mudah untuk kita tangkap. Tetapi tentunya dirasa kurang ketika istilah umum dijadikan landasan untuk memahami sebuah istilah khusus yang telah menjadi struktur sistem dalam sebuah sistem akademisi seperti pemahaman kriya seni.
Cuplikan hal-hal tersebut diatas merupakan sebuah sudut pandang sederhana dari penulis terkait dengan serangkaian acara dalam ”gawe Besar Kriya”. Setidaknya merupakan faktual yang dapat penulis deskripsikan berdasarkan perspektif seorang pelajar seni yang bingung akan artikulasi kriya yang telah mendapatkan titik terang setelah mengikuti seminar nasional tersebut. Titik terang tersebut berupa kesadaran akan kebingungan penulis yang terjawab dengan menyaksikan kebingungan para peserta training yang notabene para civitas akademi kriya itu sendiri.
Terkait dengan hal tersebut, secara antropologis, maka penulis juga dapat menangkap hukum kausalitas yang menarik untuk dibahas dan sekaligus menjawab persoalan-persoalan kriya yang sedikit banyak telah penulis ungkap. Diantaranya adalah mengapa kriya kurang dikenal? Letak dan kedudukan ISI sebagai sebuah institusi yang menetapkan program studi kriya? dan mengapa para tokoh seni sekalipun bingung mengartikan persoalan kriya?
Seperti yang penulis ungkap sebelumnya, bahwa karya seni yang idealnya menjadi sebuah pencapaian puncak selama mengikuti studi di sebuah perguruan tinggi, diletakkan dalam gudang-gudang yang jarang dilihat keberadaannya. Padahal ketika divisualisasikan seperti pada pameran tersebut, manjadi sebuah fenomena visual yang dapat memberikan pemahaman baru mengenai perspektif karya kriya seni.setidaknya membuat seorang antropolog UGM ingin mengubah isi makalah yang disajikan oleh peserta training setelah melihatnya.
Adapun nilai yang dapat ditangkap adalah ketidak perdulian tentang sebuah bentuk karya seni berakibat pada pola tingkah laku yang berakibat ketidak sadaran akan tindakan. Jika kita kaji lebih jauh, bukankan ISI Yogyakarta merupakan sebuah figur perguruan tinggi seni yang dapat dijadikan tolak ukur perkembangan seni Indonesia?. Dalam hal ini khususnya seni rupa. Maka perkembangan seni di Institusi tersebut dapat menjadi paradikma masyarakat dalam mewacanakan sebuah bentuk karya seni rupa, kriya khususnya. Tetapi yang terjadi adalah budaya yang kurang dapat dijadikan sebuah landasan paradikma berfikir terkait dengan penghargaan sebuah karya. Sebuah bentuk istilah namun penulis rasa relevan adalah ”jika kita sendiri tidak menghargai milik kita sendiri maka jangan berharap orang lain akan menghargai milik kita”. Memang istilah yang penulis paparkan bukan merupakan kajian ilmiah. Tetapi sekedar untuk menjadi sebuah bentuk refleksi dari hasil sebuah tindakan.
Sebuah karya seni yang penulis lihat yang merupakan peninggalan karya sejak jaman ASRI hingga ISI, terdapat beberapa karya yang nampak kotor bahkan rusak karena lapuk. Sungguh ironis. Sebuah bentuk pencapaian karya tersebut hanya berakhir pada ruang kosong dengan ketidakjelasan nilai. Bahkan hingga dewasa ini dapat dilihat, bahwa mahasiswa kriya ISI Yogyakarta khususnya, karya-karya hasil tugas akhir selama 4 tahun belajar berakhir dengan pameran yang diselenggarakan dilorong-lorong kampus yang minim publikasi. Hal tersebut telah kita fahami bersama adalah dikarenakan sikap dan prilaku yang dihasilkan oleh budaya yang terbentuk dan terbangun dalam ruang lingkup akademisi.
Sikap apatis tersebut juga berdampak pada minimnya kritikus kriya. Seperti yang kita fahami bersama bahwa jika tidak adanya kritikus atau biasa difahami sebagai kurator kriya, maka perkembangan seni tersebut akan nampak tidak seimbang. Sehingga keberadaannya kurang dikenal dan diwacanakan dalam ruang lingkup masyarakat pada umumnya. Hal tersebut dapat terjadi karena sikap apatis para intelekual kriyawan itu sendiri mengenai hasil karya ataupun ivent yang diselenggarakan. Sehingga dalam perspektif mereka adalah sekedar kata bagus dan indah dalam ruang lingkup masyarakat akademis seni yang terkotak dalam sebuah perguruan tinggi tetapi tidak secara umum. Salah satu kurator kriya yang cukup dikenal adalah Sujud Dartanto yang dirasa peduli pada perkembangan kriya. Tetapi itupun masih tidak tervokus pada ivent-ivent kriya tetapi kurator seni rupa secara global.
Menarik memang jika dikaji secara general dan kita kaitkan dengan struktur sistem seni kriya terkait dengan kegiatan ”Gawe Besar Kriya”. Setidaknya acara tersebut dapat membuka wacana baru walau masih belum maksimal. Pemahaman diatas hanya merupakan buah pikiran sederhana seorang penulis yang masih dalam tafar belajar untuk memahami dan mendekati arti seni kriya dan ruang lingkupnya. Dan bila hendak dianalisis secara cermat maka akan dapat penulis ungkap secara detail. Namun tentunya masih banyak yang perlu dikoreksi dari tulisan sederhana ini. Setidaknya mencoba mengungkap sebuah kegiatan besar kriya dalam perspektif antropologi seni.
Produk dijamin asli.natalia shop
BalasHapusNatalia Shop : Barang yang Kami Tawarkan Semuanya Barang ASLI ORGINAL Ada Garansi Resmi Distributor.
Semua Produk Kami Baru dan Msh Tersegel dLm BOX_nya.
BERMINAT HUB-SMS 0857-1721-2287 ATAU KLIK WEBSET RESMI KAMI http://www.natalia-shop7.blogspot.com/
BlackBerry>Samsung>Nokia>Apple>Acer>Dell>Nikon>DLL
Ready Stock!
BlackBerry 9380 Orlando - Black.
Rp.900.000,-
Ready Stock!
BlackBerry Curve 8520 Gemini.
Rp.500.000,-
Ready Stock!
BlackBerry Bold 9780 Onyx 2.
Rp.800.000,-
Ready Stock!
Blackberry Curve 9320.
Rp.700.000,-
Ready Stock!
Samsung Galaxy Note 10.1.
Rp.2,500.000
Ready Stock!
Samsung Galaxy Tab 2 (7.0).
Rp. 1.000.000
Ready Stock!
Samsung Galaxy S III Mini.
Rp.1.800.000
Ready Stock!
Samsung Galaxy Nexus I9250 - Titanium Si.
Rp.1.500.000,-
Ready Stock!
Samsung Galaxy Note 2.
Rp.2.400.000
Ready Stock!
Samsung Galaxy Note N7000 - Pink.
Rp.1.700.000
Ready Stock!
Samsung Galaxy Y S5360 GSM - Pure White.
Rp.500.000,-
Ready Stock!
Nokia Lumia 800 - Matt Black.
Rp.1.700.000,-
Ready Stock!
Nokia Lumia-710-white
Rp. 900.000,-
Ready Stock!
Nokia C2-06 Touch & Type -
Dual GSM
Rp.450.000,-
Ready Stock!
Nokia Lumia 710 - Black.
Rp. 900.000,-
Ready Stock!
Apple iPhone 4S 16GB (dari XL) - Black.
Rp.1.200.000,-
Ready Stock!
Apple iPhone 4S 16GB (dari Telkomsel).
Rp.1.200.000,-
Ready Stock!
Apple iPod Touch 4 Gen 8GB.
Rp.700.000
Ready Stock!
APPLE iPod Nano 8GB - Pink.
Rp.500.000,-
Ready Stock!
Acer Aspire 4755G Core i5 2430 Linux Blue.
Rp 1.700.000
Ready Stock!
Acer Aspire One AOD270 10.1.
Rp. 1.000.000,-
Ready Stock!
Acer TravelMate TM8481-2462G32.
Rp. 1.400.000
Ready Stock!
Acer ICONIA Tab W500 10.1" Tablets Notebook.
Rp. 1.100.000,-
Ready Stock!
Nikon D7000 kit 18-105mm.
Rp.1.700.000
Ready Stock!
Nikon D90 Kit 18-105mm Vr.
Rp 1.300.000
Ready Stock!
Nikon Coolpix L 120 Red.
Rp. 900.000
Ready Stock!
Nikon Coolpix P 500 Black.
Rp 1.000.000