Mengenai Saya

Foto saya
Kami membuka pelatihan keramik, batik, tatah ukir kayu dan kerajinan kulit serta produk-produk kreatif yang berupa barang. Fasilitas jasa : * tentor berpengalaman dari mahasiswa mahasiswi ISI Yogyakarta. * Alat dan Bahan * Sertifikat Studio 1 : Dladan,Tamanan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta Studio II : Nogosari, Sumberagung, Jetis, Bantul, Yogyakarta

Senin, 21 Desember 2009

Mengkritisi sebuah makna karya seni kramik

 Kritik Seni, Perspektif Psikologi Karya Seni dengan Pencipta Karya ( seniman)

            Tulisan ini adalah karya penulis tahun 2008 yang lalu. Baru setelah setahun berlalu, dapat saya torehkan hasil pemikiran serta gagasan dalam hal pemahaman penilaian karya seni. semoga mampu menginspirasi pembaca dan dapat mengenal sedikit banyak tentang pola pikir seniman  akademis ketika melihat karya sebagai sebuah kajian ilmiah.
            Salah satu yang menarik adalah ketika melihat ivent pameran seni yang digelar oleh sebuah galery untuk menampilkan karya-karya terbaik seniman. Berbondong-bondong masyarakat secara umum datang dan menikmati suguhan yang menurut mereka pantas dan menarik untuk dilihat. Memang, bagi orang yang mengetahui seluk beluk dunia seni akan memberi kesan visual yang pantas untuk dilihat. Namun lain halnya dengan masyarakat awam yang "bingung" melihat suguhan karya yang tak lazim. Oleh karenannya, akan penulis ungkap secara sederhana, rahasia perspektif seniman ketika melihat suguhan karya seni. Dimana mengklaim karya "bagus" atau indah tidak serta merta hanya sampai pada ujung lidah dan berakhir ketika telinga kita lupa tentang apa yang kita ucapkan sebelumnya.

 
Karya Keramik Susriyono Bertajuk
“Dikudang“



           Dalam kesempatan ini penulis ingin mencoba mengkritisi karya yang telah divisualisasikan dengan media tanah liat, milik dari kramikus muda bernama Susriono. Dimana saat ini dia sedang menempuh masa perkuliahannya di sebuah perguruan tinggi negeri di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Tepatnya di  jurusan kriya seni dengan mengambil minat utama kriya keramik. Karya yang berjudul “Di kudang“ tersebut telah dipamerkan tepatnya di Blok E, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, yang bertajuk “Front Space“. Terselenggaranya pameran pada tanggal 08 sampai 11 mei 2008 tersebut, telah diikuti oleh tiga Institusi Seni antara lain yaitu dari ISI Yogyakarta, ISI Denpasar dan ISI Surakarta.
            Pada dasarnya, tujuan diadakan pameran seni keramik ini merupakan salah satu wujud dari pembuktian ataupun eksistensi para mahasiswa yang sedang belajar keramik lewat lembaga pendidikan atau institusi negeri dengan latarbelakang seni. Oleh karena itu, mengadakan suatu pameran layaknya sebuah ritual wajib yang dilaksanakan oleh para mahasiswa yang ingin mengenalkan buah dari proses kreatif yang telah didapatkan dalam proses belajarnya.
           Pameran keramik memang jarang terdengar ditelinga masyarakat pada umumnya. Dikarenakan beberapa faktor, diantaranya adalah karena keramikus di Indonesia bisa dikatakan sedikit. Selain itu keramik di dalam masyarakat sekitar kurang dikenal, jika kita pandang dalam konteks sebuah karya seni tinggi. Dikarenakan masyarakat memandang bahwa keramik lebih condong kepada karya-karya produksi atau biasa disebut sebagai kerajinan, yang secara tidak langsung menjadi karya keramik dengan nilai seni rendah. Sehingga hal-hal tersebut diatas dapat berpengaruh terhadap daya juang para keramikus jika dikaitkan dengan partisipan kurator maupun kolektor yang sedikit banyak dapat mempengaruhi wacana mayarakat luas.
            Tetapi jika kita lihat dewasa ini sebenarnya keramik telah mengalami banyak kemajuan. Jika kita lihat dari bahan-bahan keramik yang mempunyai kualitas baik sehingga bisa dipergunakan untuk kemajuan teknologi, seperti untuk peralatan pabrik kimia, pelapis pesawat ulang alik, dan sebagainya. Termasuk dalam produk karya seni yang mengarah pada idealisme pembuatnya.
            Jika kita lihat dalam perspektif historisnya, ketika Hilda Soemantri sepulang dari Amerika Serikat pada tahun 1979, dimana dia telah mampu memberikan corak baru dalam seni rupa Indonesia pada khususnya. Dia dapat memberikan nuansa keramik abstrak yang memberikan kualitas baru dengan kecenderungan ke arah seni murni. Sehingga diluar fungsi ataupun kegunaan. Hal tersebut yang sebenarnya merupakan permasalahan penting yang jarang diungkap secara jelas di dalam dunia seni keramik. Hal tersebut yang melatarbelakangi penulis untuk mengkritisi atau mengkaji karya seni milik dari Susriono.
            “Dikudang“ tergolong sebagai karya kriya keramik, dimana bahan baku pembentukannya menggunakan media tanah liat. Jika menurut jenis tanahnya, karya ini menggunakan jenis tanah Stoneware. Stoneware atau tanah benda batu merupakan jenis tanah yang tidak termasuk gerabah. Karena gerabah merupakan jenis tanah yang mudah menyerap air sedangkan Stoneware memiliki bodi yang tergolong rapat. Tanah ini tergolong tanah sendimen dengan sifat plastis, pengeringan baik dan memiliki kadar besi oksida dan titan oksida yang tinggi. Tanah tersebut biasanya digunakan dalam pembuatan barang-barang keramik karena pada dasarnya tanah ini memiliki bodi yang tahan asam dan alkali dalam pabrik-pabrik kimia, tegel-tegel, pipa-pipa dan keramik seni.
            Dalam proses pembentukan karya, tentunya tidak dapat lepas dari persoalan teknis. Membuat barang-barang keramik perlu memiliki kemampuan serta pengetahuan yang cukup dalam proses perwujudannya. Karena berawal dari sebuah tanah liat yang tidak berbentuk, kemudian dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan suatu bentuk karya sesuai dengan yang diinginkan pembuatnya, tentunya membutuhkan kemampuan yang bersifat teknis. Walaupun pada penerapannya, ide-ide penciptaan pun berperan untuk mengukur kreatifitas penciptaan.
            Teknik pijit atau biasa disebut teknik pinch, merupakan teknik pembentukan yang
digunakan oleh Susriyono, hal tersebut bila dilihat dari perspektif disiplin ilmu yang digunakan. Teknik ini merupakan teknik pembentukan dengan cara tanah liat ditekan-tekan atau dipijit-pijit diantara ibu jari tangan dan jari-jari tangan sambil dibentuk benda yang dikehendaki. Menguasai tenik ini memerlukan keahlian yang tentunya membutuhkan latihan secara terus menerus agar tangan dapat terbiasa terlatih dengan baik. Beberapa keramikus juga menggunakan teknik ini dengan menempatkannya sebagai ciri khas yang dimilikinya, yaitu dengan cara sengaja meninggalkan bekas sidik jari tangan sebagai penambah nilai natural dan nilai estetik. Sehingga bekas yang tertinggal di dalam bodi keramik tidak dihapus, tetapi sengaja ditinggalkan sebelum akhirnya karya tersebut di bakar.
            Adapun teknik-teknik dekorasi yang digunakan pada karya ini adalah teknik dekorasi dengan ukiran. Ukiran bukan hanya terdapat pada pahatan kayu dimana biasanya ditampilkan dengan ornamentasi yang rumit, tetapi di dalam keramik juga ada teknik dekorasi dengan ukiran tetapi dengan disiplin ilmu yang berbeda.
            Terlihat pada karya tersebut dimana guratan-guratan butsir yang membentuk sebuah motif yang menghiasi karya dengan menempatkannya secara berjajar. Teknik ini biasanya dilakukan pada tanah liat sebelum dibakar yaitu pada waktu dalam keadaan plastis atau setengah keras. Teknik ini tergolong dalam teknik hias intaglio yaitu mencukil hiasan pada badan keramik namun cukilan tidak sampai berlubang.
            Karya dengan bentuk tiga dimensional tersebut terkesan bersifat vertikal yang berukuran kurang lebih 20 x 50 cm. Di dalam keseluruhan unsure seni rupa, sebuah karya tentu pada dasarnya memiliki arah. Ketika karya bersifat vertikal maka karya tersebut lebih cenderung memiliki arah ke atas.
            Penempatan karya dalam pameran di display dengan bertumpu pada pustek warna putih. Di sampingnya, nampak karya-karya peserta pameran yang lain dengan jarak kurang dari 2 meter. Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta pada saat itu terlihat sesak dipenuhi dengan berbagai karakter serta wujud karya seni keramik yang telah didisplay oleh panitia penyelenggara pameran. Hal tersebut terjadi dikarenakan peserta pameran kurang lebih terdapat 97 peserta dan tidak sedikit dari beberapa peserta yang ikut menampilkan lebih dari satu karya. Sehingga ketika penikmat seni yang dating pada waktu itu, bisa dikatakan bahwa mereka kurang fokus terhadap karya yang disajikan karena tiap-tiap jenis karya memiliki karakteristik sendiri yang secara tidak langsung mempengaruhi psikologi penikmat untuk langsung melihat karya yang berada di sampingnya.
            Menurut hemat penulis, jika diliat dari perspektif kebentukannya, karya tersebut
merupakan paduan dari unsur-unsur disain elementer. Dimana terdapat unsur-unsur garis, warna, ruang, maupun tekstur. Seperti yang telah kita ketahui bahwa garis adalah suatu goresan yang berdimensi memanjang serta mempunyai arah dan merupakan batas limit dari suatu benda, massa, ruang dan warna[1]. Didalam karya ini, terdapat kombinasi unsur-unsur garis yang bersifat pendek, panjang, vertikal, horisontal, melengkung serta berombak. Walaupun pada dasarnya didominasi oleh garis melengkung dan berombak yang mengikuti arah dari bentuk karya. Sehingga melalui kombinasi garis tersebut dapat memberikan kesan keselarasan yang seirama dan efek gerak sesuai dengan peranan dari garis. Aplikasi garis tersebut dapat kita lihat pada bodi karya yang berupa hiasan berbentuk ornamen yang diterapkan secara minimalis, juga dapat kit abaca melalui bentuk keseluruhan karya yang merupakan perpaduan antara garis lurus dan lengkung.
            Terdapat unsur-unsur pengulangan di dalam karya tersebut, atau biasa disebut dengan irama atau ritma. Hal tersebut merupakan suatu pengulangan yang secara terus menerus dan teratur dari suatu unsur-unsur. Dan di dalam karya ini terdapat pengulangan unsur-unsur garis yang membentuk tekstur yang bersifat dekoratif. Unsur-unsur tersebut termasuk unsur penegas dari pada peranan garis, sehingga lebih menimbulkan kesan yang berupa efek gerak. Pengulangan tersebut dimaksudkan untuk membentuk suatu kesatuan penyusunan atau pengorganisasian dari pada penempatan garis dekoratif sedemikian rupa, sehingga menjadi kesatuan antara bentuk bagian-bagian dengan keseluruhan karya. Pengulangan garis secara beraturan dan dengan memperhitungkan ketepatan komposisi mampu memberikan nilai tambah terhadap nilai estetik.
            Selain unsur-unsur bentuk yang terdapat dalam suatu karya, terdapat juga unsur warna yang termasuk dalam salah satu elemen seni rupa. Warna berperan penting terhadap kehidupan sehari-hari, dimana kita dapat melihat segala sesuatu benda yang terdapat disekitar kita, akan diperindah dengan kehadiran warna. Kehadiran dari warna itu sendiri dapat memberikan tanda ataupun ciri dalam suatu benda tertentu sehingga dapat membedakan antara benda satu dengan yang lainnya. Kehadiran warna merupakan penggambaran sifat obyek secara nyata, atau penggambaran dari suatu obyek alam sesuai dengan yang dilihatnya[2].
            Warna yang ditampilkan oleh seniman muda tersebut adalah warna hitam. Dominasi warna tersebut membalut seluruh bodi keramik, dimana media yang digunakan untuk penerapan warna adalah cat tembok. Cat yang diterapkan pada karya merupakan metode yang diterapkan sebagai pencapaian karya keramik yang berjudul “dikudang”.
            Warna memiliki klasifikasi tertentu dengan berdasar pada teori tertentu. Value merupakan salah satu teori warna yang mengklasifikasikan warna berdasarkan terang gelapnya warna yang terdapat dalam “The Prang System“[3]. Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa karya tersebut diatas didominasi oleh warna hitam. Dan menurut Dr. Denman W.Ross, membagi 9 tingkatan warna dari terang ke gelap. Warna hitam tergolong kedalam nama “Black“ dengan simbol “B“. Warna ini dalam peranan nantinya, kelihatan mengurangi ukuran dari suatu obyek yang berada dihadapannya. Hitam juga mempunyai daya untuk menyatukan warna-warna dan dapat memberikan keselarasan dalam suatu komposisi, apabila banyak warna cerah digunakan bersama-sama[4]
            Dalam karya ini juga terdapat unsur tekstur yang merupakan suatu unsur rupa yang menunjukan rasa permukaan bahan, yang sengaja dibuat dan dihadirkan dalam susunan untuk mencapai bentuk rupa, sebagai usaha untuk memberikan rasa tertentu pada permukaan bidang yang terdapat di karya seni rupa secara nyata atau semu. Sedangkan dalam karya “dikudang” terdapat unsur tekstur nyata dimana tekstur yang dibuat dengan sengaja pada media tanah liat. Pada karya ini terdapat tekstur yang bersifat nyata dalam bentuk garis-garis dekoratif. Tekstur pada dasarnya mempunyai kualitas plastis, karena timbul bayang-bayang pada permukaannya. Tiap-tiap yang memiliki permukaan yang berbeda memiliki sifat atau karakter dan ekspresinya sendiri-sendiri. Sehingga tekstur juga demikian, bentuk dari tekstur yang diterapkan oleh susriyono ini memiliki karakter serta ekspresi yang khas dengan gaya yang dia pakai sebagai pencapaian bentuk karya.
            Centre of interest atau fokus dari keramik ini, dikondisikan dengan menempatkan obyek yang memusat seiring dengan bentuk karya, dimana elemen-elemen yang lain hanya sebagai media pendukung. Menurut hemat penulis, karya ini memiliki fokus pada bagian paling atas karya. Hal tersebut dikarenakan unsur-unsur garis yang didominasi oleh garis vertikal serta unsur-unsur bentuk yang ada secara vertikal mengarah pada bagian tersebut. Sehingga secara tidak langsung, pada bagian atas karya dapat membuat pandangan penikmat karya mengarah pada bagian tersebut.

Dilihat dari keseluruhan elemen-elemen bentuk karya yang disatukan oleh sang seniman, bisa dikatakan karya keramik ini menyerupai bentuk patung. Walaupun seolah merupakan satu kesatuan, namun didalam karya ini terdapat dua figur manusia, yang menurut representatif penulis adalah seorang manusia yang sedang menimang anak kecil.
            Memang bisa dikatakan karya tersebut kurang proporsional jika dilihat dari perspektif kebentukannya yang menyerupai manusia. Mengapa demikian? Hal tersebut dikarenakan proporsi manusia yang sebenarnya memiliki perbandingan 1: 7 ukuran kepala, untuk orang dewasa dan atau 1 : 6 untuk anak kecil. Tetapi karya ini memang bukanlah tergolong sebagai bentuk dengan gaya aliran realisme, tetapi lebih kepada abstrak. Sehingga dapat dikatakan karya ini merupakan wujud representasi dari karya keramik Hilda Soemantri dimana beliau mengadopsi ilmu keramik yang berkembang di Amerika Serikat.
            “Kasih sayang“, itu yang tercermin dari karya tersebut. Kasih sayang seorang manusia terhadap manusia yang lain. Kasih sayang terhadap belahan jiwa. Kasih sayang terhadap darah dagingnya. Kasih sayang terhadap sumber inspirasi dalam hidup, serta kasih sayang yang diberikan kepada buah cinta yang memberikan alasan untuk tetap hidup dan berjuang menopang beban dari kehidupan yang ada.
            Kasih sayang memang dapat menjadikan seseorang yang pada dasarnya lemah menjadi kuat, orang yang kurang mampu menjadi luar biasa kuat dan hanya dengan kasih sayanglah kita dapat ada dan menjadi kuat sampai sekarang.
            Jika kita perhatikan, kedua figur tersebut saling berhadapan dan seolah memiliki keterikatan satu sama lain. Dimana saling membutuhkan merupakan sebuah bentuk nyata yang ingin digambarkan oleh karyan tersebut. Dan disimbolkan dengan menyatukan dua figur manusia dalam satu karya. Hal tersebut yang melatarbelakangi penulis merepresentasikan karya tersebut sebagai cerminan kasih sayang antar manusia jika kita melihat bahwa karya tersebut nerupakan figur dari deformasi patung manusia.
             Bila kita cermati secara mendalam, maka kita akan melihat bahwa karya ini merupakan sebuah pemaknaan kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Hal tersebut terlihat dari bentuk yang divisualisasikan oleh Susriyono dengan menampilkan dua figur patung dengan ukuran yang berbeda antara satu dengan yang lain. Maka penulis merepresentasikan bahwa karya tersebut merupakan dua wujud manusia yaitu seorang ibu dan anaknya.
            Dalam karya yang berjudul “dikudang“ ini, secara alegoris, terdapat keselarasan antara kasih sayang dan beban hidup. Karya tersebut memiliki kontruksi yang cukup unik, yang dapat dilihat dari beban kontruktif figur manusia yang satu dengan manusia yang lain tidak seimbang. Dalam artian, terdapat tumpuan beban yang lebih terhadap salah satu figur. Dan dapat kita lihat hal tersebut terdapat pada karya yang menyerupai figur seorang ibu, dimana kontruksi karya lebih condong kearahnya, sehingga membentuk lengkungan.
            Lalu apakah makna dari semua itu? Adakah suatu pesan yang hendak disuguhkan oleh seniman muda tersebut? Ataukah hal tersebut hanyalah interpretasi penulis belaka? Hal ini tentunya menarik untuk menjadi bahan diskusi selanjutnya.
            Seperti yang telah dikemukakan oleh penulis sebelumnya, bahwa karya ini merupakan representasi dari rasa kasih sayang yang diberikan kepada buah cinta yang memberikan alasan untuk tetap hidup dan berjuang menopang beban dari kehidupan yang ada. Ini merupakan sebuah gambaran pengorbanan seorang manusia terhadap anaknya dimana dia rela untuk melakukan apa saja demi kebahagiaan buah cintanya, walaupun terkadang jurang penderitaanlah yang menghadang. Tetapi seorang ibu akan tetap bahagia dengan apa yang dilakukan demi kebahagiaan anaknya.
            Selain tanda lengkung pada bodi karya keramik, yang berupa figur seorang ibu, terdapat pula tanda-tanda yang mendukung dari pada interpretasi penulis, yaitu pada bagian pangkal dan tengah. Dimana dapat dilihat, terdapat bentuk cekungan pada bagian kaki, yang secara tidak langsung mempengaruhi unsur-unsur kontruksi pada karya. Perlu diketahui juga bahwasannya sebuah karya keramik dalam proses perwujudannya, terdapat persoalan yang tidak bisa dianggap mudah, hal tersebut adalah masalah pembentukan dan
penyusunan kontruksi karya. Selain bentuk yang mendukung, kekeringan tanah juga perlu diperhatikan, yang pada imbasnya memerlukan kesabaran dalam pembentukan karya. Hal tersebut penulis utarakan karena secara emosional seniman dalam pembentukan karya ini, mempermainkan unsur kontruksi dengan melengkungkan kaki serta tubuh karya, terlebih pada figur seorang ibu tersebut. Sehingga ketika kita hubungkan proses pembentukan, emosional seniman serta pemaknaan karya dengan judul “dikudang”, maka hal inilah yang menjadi landasan penulis untuk menginterpretasikan simbol-simbol yang tercakup didalamnya.
            Menurut hemat penulis, karya ini tergolong sebagai karya minimalis, tetapi didalamnya terdapat makna dan tanda yang cukup menarik sebagai bahan diskusi. Karya ini pada dasarnya menyimpan pesan yang positif, dan sebuah bentuk penyadaran masyarakat dengan media yang cukup unik, yaitu dengan sebuah karya keramik. Penyadaran bahwa betapa berarti dan berharganya kasih sayang yang tulus diberikan tanpa pamrih, terlebih jika kasih sayang tersebut datang dari orang tua kita, yang mengasuh dan rela untuk berkorban. Maka, tidak selayaknya pengorbanan itu kita sia-siakan atau bahkan kita malah semakin menambah beban hidup.
            Melalui karya “dikudang”, yang merupakan bahasa Jawa, yang berarti ditimang,
seniman muda yang bernama Susriyono bisa dikatakan berhasil, jika dilihat dari segi emosionalism atau berdasarkan prinsip bahwa suatu karya bisa berbicara dengan melalui pengamat melalui emosi. Penulis dapat menangkap emosi yang telah dituangkan dalam karya sehingga dapat mempermudah dalam melakukan interpretasi.
            Namun yang perlu digaris bawahi, dalam penilaian suatu karya tidak dapat melalui satu sudut pandang saja. Hal tersebut terkait dengan nilai dari sebuah karya seni yang bersifat abstrak. Dan bagaimanapun seseorang mendefinisikan keindahan dalam karya seni, hal tersebut tetap merupakan teoritis. Dan cita rasa yang abstrak tersebut hanya merupakan basis aktivitas artistik yang elementer. Eksponen dari aktifitas tersebut adalah manusia yang berhubungan dengan kehidupannya[1].
            Dikarenakan tidak adanya tata aturan dimana sebuah karya dalam proses kreatif seseorang layak untuk dikatakan memiliki nilai seni tinggi atau bahkan jauh dari kata seni, lebih khususnya di Indonesia, dimana tidak adanya badan hukum atau biasa disebut dari hakim seni yang bertindak menghakimi sebuah karya, maka menurut hemat penulis, penilaian sebuah karya seni dewasa ini lebih kepada penilaian subyektif suatu kelompok
tertentu. Dan untuk mencapai sebuah kemurnian penilaian karya, sulit untuk tercapai jika tidak berfikir secara meluas, mendalam dan menyeluruh.
            Berdasarkan analisis, deskripsi serta intepretasi penulis, maka karya ini terdapat beberapa poin yang mungkin bisa dijadikan inovasi dalam proses kreatif sang seniman muda. Antara lain adalah pemilihan warna yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi perwujudan, makna dan tanda pada karya.
            Picasso mengatakan, “Dalam kenyataannya seseorang hanya memakai sedikit warna. Apa yang memberi ilusi seakan-akan banyak, adalah bahwa ia ditempatkan pada tempatnya yang tepat dan dengan jumlah yang tepat pula“[2]. Yang perlu kita garis bawahi adalah kata-kata “tempat yang tepat“ dan “berapa jumlah yang tepat“. Jika terdapat pertanyaan mengenai karya “dikudang“, apakah karya tersebut sudah tepat dalam tempat dan jumlah yang tepat? Maka jawabanya tentu tidak bisa sebatas emosional saja, tetapi perlu dikaji lebih dalam berkenaan dengan peranan warna hitam terkait dengan penerapannya pada karya tersebut.
            Pada dasarnya tiap-tiap warna adalah indah untuk suatu maksud yang tertentu dimana mereka telah dipilih. Warna hitam bila diterapkan didalam suatu benda maka akan kelihatan mengurangi ukuran dari suatu benda. Dan ketika diterapkan dengan satu warna dominan maka secara tidak langsung benda tersebut membentuk suatu kesatuan pandangan. Tentunya hal tersebut berpengaruh terhadap keseluruhan bentuk dalam suatu karya.
            Jika dilihat dari elemen-elemen yang telah kita bahas sebelumnya, terdapat unsur yang berupa tekstur di dalam karya ini. Dan unsur tersebut berupa garis-garis dekoratif yang dimaksudkan sebagai unsur penegas sehingga lebih menimbulkan kesan yang berupa efek gerak. Tetapi pada kenyataannya, jika kita lihat secara intuitif, garis-garis tersebut terlihat tenggelam dikarenakan efek dari warna gelap yang diterapkan. Sehingga bisa dikatakan dekorasi yang ditampilkan oleh Susriyono tersebut menjadi kurang peranannya. Karena jika suatu bentuk teknis hias akan berfungsi maksimal jika ditempatkan paa tempat yang tepat, komposisi yang akurat dan penerapan warna yang dapat menjadikan dekorasi tersebut dapat berperan maksimal.
            Didalam disiplin ilmu keramik, teknik pewarnaan berbeda dengan pewarnaan disiplin ilmu senirupa yang lain. Glasir merupakan salah satu teknik pewarnaan yang dilakukan
dengan cara pembakaran suhu tinggi. Teknik dekorasi keramik seperti enggobe dan over glass pun dilakukan dengan cara yang sama yaitu melalui proses bakar. Bisa dikatakan bahwa teknik pewarnaan keramik sesuai disiplin ilmu, idealnya dilakukan dengan cara dibakar dalam tungku pembakaran.
            Cat tembok adalah media yang digunakan untuk penerapan warna didalam karya “dikudang“, dan jika kita tinjau melalui disiplin ilmu yang digunakan, maka bisa kita simpulkan bahwa media cat tidaklah ideal untuk digunakan sebagai terapan dalam pewarnaan karya keramik. Oleh karena itu karya ini kurang tepat untuk dipamerkan kedalam suatu iven seperti Front Space yang notabene merupakan wujud pertanggung jawaban kepada publik, sesuai atas ilmu yang didapat diperguruan tinggi yang telah digeluti. Seperti sambutan ketua pelaksana pameran kriya tersebut yaitu Prasetiyo Yunianto bahwa, “Rangkaian agenda yang akan digelar ini sebagai wujud pertanggung jawaban kepada publik atas ilmu yang kami miliki, sekecil apapun ilmu yang kita miliki akan menjadi sangat bermanfaat bila kita mau untuk berbagi dan tulus untuk menyuguhkan kepada publik“. Apakah ilmu yang diajarkan diperguruan tinggi mengajarkan untuk menggunakan cat sebagai media pewarnaan pada keramik? Hal tersebut layak untuk dipertanyakan kepada Susriyono, sehingga penulis berani untuk menarik kesimpulan dari hasil interpretasi yang telah diuraikan sebelumnya.
            Ironis memang bila kita memandang sebuah harapan yang semestinya ideal berbeda dengan kenyataan. Secara disiplin ilmunya, pewarnaan keramik kurang tepat jika menggunakan cat. Namun ketika kita melihat kenyataan yang ada bahwa keramik yang dicat sedang marak sebagai media warna pada bodi keramik, dimana keramik tersebut mampu menembus bisnis internasional, tentunya berfikir janggal. Memang kita tidak bisa langsung menghakimi bahwa hal tersebut tidak benar. Tetapi bisa dikatakan kurang tepat jika kita melihat dengan kacamata disiplin ilmu yang digunakan. Sebagai seorang kramikus yang dibesarkan lewat institusi seni tentunya beliau mengetahui hal tersebut.
            Dari segi penerapan warna, menurut penulis karya ini kurang tepat. Jika kita lihat warna hitam merupakan warna mutlak dan tentunya memiliki suatu maksud tertentu. Dalam artian warna hitam juga memiliki makna khusus yang mungkin bisa menjadi media pendukung arti maupun tanda pada karya.
            Seperti intepretasi orang-orang di Tiongkok, bahwa warna hitam merupakan warna yang paling tidak disukai. Selain daripada itu warna hitam juga dipandang sebagai warna berkabung. Orang Tionghoa mengkaitkan warna hitam dengan sesuatu yang terbakar yang merupakan simbol dari api. Kebanyakan benda yang terbakar, warnanya berubah meng-hitam. Juga abu-jenazah dari orang yang kita cintai adalah abu-kehitam-hitaman. Warna hitam begitu tidak disenangi bukannya karena seringkali dikaitkan dengan sesuatu yang jelek. Antara lain ada anggapan negatif terhadap warna hitam juga disebabkan bahwa orang zaman dulu hanya hal jelek saja yang dibakar dan menghasilkan warna hitam. (dang) memiliki juga sebuah makna negatif dikarenakan terdiri dari aksara (warna hitam yang menantang)[3].
            Masyarakat Indonesia pada umumnya juga memiliki intepretasi yang sama dengan masyarakat Tiongkok, yaitu menganggap bahwa warna hitam merupakan simbol dari makna berkabung. Sebagai contohnya bisa dilihat dari kebiasaan ataupun tata cara ketika masyarakat Yogyakarta sedang melaksanakan upacara kematian (layat), dimana pakaian hitam merupakan  pakaian yang dikenakan sebagai wujud; ikut berbelasungkawa kepada keluarga yang telah ditinggalkan. Walaupun ketika kita melihat daerah-daerah lain kecenderungan memakai pakaian warna hitam sebagai wujud dari belasungkawa, tidak keseluruhannya memakai warna tersebut.
            Terkait dengan karya “Dikudang”, seperti intepretasi penulis sebelumnya bahwa karya ini merupakan sebuah simbol kasih sayang yang tulus. Hal tersebut penulis simpulkan dari unsur-unsur yang terdapat didalam karya, melihat dan mencoba membaca
maksud seniman dengan menghubungkan judul karya. Penulis juga menganggap bahwa
karya ini berhasil menggugah imajinasi dengan bentuk karya yang sesuai dengan maksud seniman. Tetapi jika kita kaji lebih teliti, ternyata terdapat unsure karya yang dapat kita koreksi, yaitu unsur warna yang diterapkan oleh Susriyono. Koreksi tersebut sudah sedikit banyak penulis bahas sebelumnya.
            Dalam penerapan warna didalam karya ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa warna hitam kurang tepat jika diterapkan. Hal tersebut berdasarkan tidak adanya keseimbangan antara konsep karya dengan visualisasinya. Kasih sayang ketika dikaitkan dengan warna hitam, menurut penulis akan menimbulkan pertanyaan yang cukup kompleks. Kasih sayang yang seperti apa? bukankah kasih sayang sendiri merupakan salah satu wujud dari cinta? Apa hubungan antara kasih sayang dengan warna hitam? Bukankah warna hitam identik dengan intepretasi negatif?
            Tentunya hal tersebut diatas menjadi bermakna ganda dan makna tersebut bertentangan dengan kebentukan karya. Menurut hemat penulis, pemilihan warna juga harus diperhatikan untuk menunjang suatu karya dapat seimbang antara konsep karya
dengan visualisasinya, dan tentunya menyesuaikan dengan disiplin ilmu yang
digunakan.
            Akhir kata, penulis menyadari bahwasanya sebuah penilaian karya seni yang berkait dengan estetika merupakan sebuah wacana yang terkait dengan hal-hal yang
bersifat teoritis, dimana terdapat sebagian orang yang berusaha memisah-misahkan dan ada pula yang merangkumnya. Semua hal tersebut tergantung pada masing-masing individu, dimana pada dasarnya kita tidak dapat memperdebatkan rasa. Tetapi didalam penilaian yang bersifat abstrak tersebut, tentunya terdapat hal yang dapat kita hubungkan dengan sesuatu hal yang dapat ditangkap dengan rasio. Dan ketika kita dapat menghubungkannya maka tentu dapat menjadikan landasan dalam mengkritisi sebuah fenomena visual yang berupa karya seni tersebut.
              Demikian sedikit goresan pena yang mampu saya tuangkan dalam dunia maya. Saya akan sangat menunggu kritikan serta saran dari pembaca hingga menghasilkan diskusi yang interaktif mengenai pemahaman seni dan karya.

Candra Eko winarno, 2009.
Pimpinan Tirta 9 craft

Silahkan mampir di www.tirta9craft.blogspot.com


[1] Read, terjemahan, Soedarso SP., “Seni:
Arti dan Problematiknya, Yogyakarta:Duta Wacana Univercity Press, 2000), pp. 5

[2] Fajar Sidik dan Aming Prayitno, “Desain Elementer”, p. 19
[3] http://erabaru.or.id/k_11_art_83.html, Isi Tembolok GOOGLE, Mei, 13,
2008, p. 1


[1] Sidik dan Aming Prayitno, “Desain Elementer”, pp. 4

[2] Dharsono Soni Kartika dan Nanang Ganda Perwira, “Pengantar Estetika”, rekayasa sains, bandung 2004, p.108.
[3] Fajar Sidik dan Aming Prayitno, “Desain
Elementer”, pp.  12

[4] Sidik dan Aming Prayitno, “Desain Elementer”, pp. 14-15




Tidak ada komentar:

Posting Komentar